Saat seorang diminta membayangkan visi hidupnya, seringkali yang tergambar adalah visi dunia saja. Bayangan kesuksesan pun dengan ukuran dan kriteria dunia. Punya rumah besar, penghasilan tinggi, kendaraan mewah, dan bisa bersenang- senang. Bila seorang politisi yang terbayang berkantor di Senayan atau Istana Merdeka. Kalau pegawai berharap kelak menduduki jabatan strategis dengan fasilitas dan penghasilan berlimpah. Atau jika pengusaha, menjadi konglomerat dengan kekayaan yang tak terkira.
Boleh saja kita berusaha meraihnya. Dan tak ada larangan juga kita menikmatinya. Namun jangan lupa sisi lain hidup ini. Dari berbagai impian dunia yang kita kejar tadi, cobalah tarik ke belakang sedikit saja. Bahwa hidup kita ini, pasti ujung akhirnya adalah kematian. Agar seimbang, tidakkah kita perlu juga menggambarkan saat- saat akhir hidup kita? Rasanya akan lebih pas dan cerdas jika malam tahun baru ini bukan untuk pesta pora namun untuk tafakkur dan muhasabah; sudahkah kita siap menghadapi maut yang akan menjemput? Apa bekal yang telah kita siapkan menghadapinya?
Manusia yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat mati serta terbanyak persiapan menghadapinya. (Riwayat Ibnu Majah)
Sakaratul Maut
Sayup-sayup renungi lantunan nasyid tentang kematian ini. “Bila Izrail datang memanggil, jasad terbujur di pembaringan. Seluruh tubuh akan menggigil, sekujur badan kan kedinginan.”
Bayangkan saat Anda terkulai menghadapi sakaratul maut di ujung kehidupan. Tarikan nafas naik turun terasa sesak dan tersengal. Badan lemah lunglai. Haus, lapar. Air setetes pun tak lagi bisa masuk dalam tenggorokan. Akhirnya sang nyawa pun pergi tak dapat dicegah. Dan anak istri hanya bisa melepas kepergian Anda dengan sedih berlinang air mata.
Kalau Anda seorang politisi, saat menghadapi beratnya sakaratul maut itu, apa yang dapat Anda pikirkan? Para pengikut yang sekian lama Anda banggakan, tak akan dapat menghalangi datangnya maut. Anda demikian lemah dan tak berdaya. Kenikmatan dunia sekian lama itu pun pupus seiring dengan ujung hembusan nafas Anda.
Jika Anda seorang pejabat, kematian pun tak akan bimbang dengan Anda. Malaikat maut tanpa sungkan sedikit pun merogoh ruh Anda untuk mencabutnya. Dan saat kritis itu terjadi, lidah pun kelu. Jabatan kebanggan itu pun menguap begitu saja. Apa desahan terakhir Anda?
Bila Anda seorang pengusaha, sang maut pun tak mau ditunda meski dengan seluruh uang Anda. Tubuh dari tanah dan akan kembali ke tanah. Saat tubuh Anda terbujur kaku di pembaringan, apa kekayaan yang masih dapat Anda bawa? Hanya lembaran kain kafan. Tidakkah Anda bersiap dengan datangnya kepastian ini?
Saat sakaratul menjemput, sedang bagaimana keadaan diri ini? Tersenyum karena cinta dan ridha dengan Allah ataukah terbelalak ngeri? Di tengah kepanikan itu masih bisakah lisan kita berucap kalimat tauhid; Laa ilaaha illallah. Khusnul khatimah atau suul khatimah?
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (Al Anbiyaa [21]: 35)
Visi Akhirat
Meski kematian itu demikian tragisnya, namun ia bukan akhir segalanya. Nasib manusia tidak berakhir di liang lahat begitu saja habis perkara. Masih ada perjalanan hidup selanjutnya. Itu sangat tergantung pada amal kita. Semua yang kita bicarakan dan lakukan sepanjang hidup ini ‘disadap’ habis tak ada yang tertinggal sebagai bukti di pengadilan Ilahi kelak. Visi dunia yang telah kita canangkan memang perlu, tetapi jangan lupa visi akhirat yang abadi.
Seorang yang tak memiliki visi akhirat, yang terbayang dalam hidup ini adalah gambaran kenikmatan dunia saja. Tak sedikit pun resiko akhirat yang tergambar dalam benaknya. Dalam maksiat, yang terbayang kesenangan, bukan panasnya api neraka. Na’udzubillahi min dzalik.
Kamu akan dikembalikan kepada Dzat yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, kemudian akan diterangkan kepada kalian tentang apa saja yang telah kalian kerjakan. (Al-Jumu’ah [62] : 8)
Bayangkan dengan amal perbuatan kita saat ini. Bila ajal menjemput akankah Allah menyambut kita dengan tersenyum ridha? Ataukah murka karena kita tak pernah sudi mengenal- Nya? Akankah kita di masukkan dalam sorga- Nya? Atau tertunduk hina diseret malaikat ke neraka-Nya karena perbuatan dosa yang menggelayut jiwa? Na’udzubillah.
Tidakkah sejak dini kau bersiap diri? Bila kau begitu menjaga hubungan dengan kolegamu untuk duniamu, tidakkah hatimu terpanggil menjalin hubungan dekat dengan Tuhan-Mu? Kalau kau tidak sayang mengeluarkan uang banyak untuk kesenanganmu, tidakkah kau merasakan pentingnya berkorban dan berinvestasi untuk akhiratmu? Kalau hidup kita berpaling dari Allah, akan sempitlah hidup ini.
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya bagi mereka penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Thaha [20]: 124)
Mumpung masih diberi umur, raihlah visi akhirat itu sejak sekarang. Mendekatlah dengan Allah dan jalin hubungan yang kian mesra dengan-Nya. Saat adzan berkumandang, penuhi undangan-Nya dengan senyum syukur. Basuh dan sucikan jiwa ini untuk ruku' dan sujud dengan penuh khusyu' dan ridha kepada- Nya. Semoga dengan begitu, Dia pun ridha menerima kita.
Dalam hubungan dengan sesama sehari- hari, perbanyaklah amal shalih. Bukan semata berpikir apa yang dapat saya nikmati tetapi bisakah saya berbagi. Jika Anda seorang politisi, curahkan waktu dan tenaga untuk membela ummat. Jika Anda mendapat amanah jabatan, jadikan ia ladang melayani rakyat. Atau bila Anda pengusaha, berbagilah dengan sesama atas anugerah Allah yang dialirkan lewat Anda.
Bila kita senantiasa beramal mencari ridha- Nya, Allah pun berkenan menurunkan rahmat dan ampunan dalam hidup ini. Dan dengan istiqamah di jalan-Nya, kematian pun bukan sebuah kengerian. Namun pintu menjemput kebahagiaan yang hakiki. Kita diundang memasuki sorga- Nya bersama hamba- hamba-Nya yang shalih dan disambut salam- Tuhan Yang Maha Penyayang.
Sesungguhnya penghuni syurga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan. Di syurga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang. (Yasiin [35]: 55- 58)
Bahagia dunia akhirat. Itulah visi yang hendaknya kita tanamkan dalam tafakkur dan muhasabah pergantian tahun ini. (Ust. Hanif Hanan)